Angin.
Kau membawa senyumku
melayang bersamamu, membuatku kesal sesaat karena kau mengacak rambutku. Aku
yang terdiam—menyandar pada bangku malah untuk merapikannya. Aku menatap dalam
pantulan wajahku di layar laptop yang hitam. Berusaha menyelami mataku sendiri,
namun aku tak mampu layar itu terlalu gelap sehingga aku tidak menemukan titik
tepat mataku. Jariku mengusap touchpad dan
kemudian layar hitam itu berubah menjadi sebuah foto yang diambil di salah satu
objek wisata. Dalam foto itu terlihat sekiranya ada 6 cewek dan 4 cowok dalam
senyum dan gaya berfoto yang berbeda-beda. Semua senyumnya memancarkan
kebahagian tersendiri. Aku tersenyum tipis, aku merindukan saat itu.
Sesadarnya aku dalam
lamunan singkatku mengenang saat kami bersama-sama ke tempat itu, aku
memerhatikan isi kelasku. Beberapa sedang mengerjakan tugas, makan siang,
bersenda gurau, dan fokus pada gadget-nya.
Aku masih terdiam. Dan pandanganku kembali pada layar laptopku.
Ke mana saja kau dua
minggu ini?
Aku berteriak pada diriku sendiri. Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat,
Sabtu, kembali lagi ke Minggu, Senin lagi, Selasa lagi, Rabu lagi, Kamis lagi,
Jumat lagi, Sabtu, dan bertemu lagi dengan Minggu, hingga hari ini, Senin. Kau ke
mana saja!? Aku kembali berteriak dalam jiwa.
Kau di sini, ya dua
minggu ini kau selalu di sini. Duduk di bangku ini bersama teman sebangkumu,
bersenda gurau bersama teman-temanmu, berteriak-teriak sesuka hati, melakukan
hal konyol, ya itu semua kau lakukan selama dua minggu ini.
Namun mengapa aku
merasa kosong? Aku lupa dengan dua minggu ini. Well, aku melakukan sedikit percakapan dengan diriku sendiri.
Karena matamu
tertutup. Seseorang di dalam tubuhku menjawab. Tertutup? Ya, walau kau tertawa
keras tetapi matamu hanya memandang kesedihan yang mendalam. Tidak sedetikpun
matamu matamu memandang kebahagian dari orang-orang di sekitarmu. Jiwamu
kosong. Seseorang itu kembali menjawab. Kosong? Ya, kau menjalani hari seolah
kau baik-baik saja namun ternyata, tengoklah jiwamu. Kau membiarkannya kosong,
kau membiarkannya terlarut-larut dalam kesedihan. Otakmu menangis. Ia berkata
lagi, kali ini aku ingin menutup telinga. Menangis? Namun aku tetap bertanya.
Ya, otakmu memutar ulang semua kenanganmu dan menangisi semuanya. Dan kau
membiarkan itu semua terjadi walau kau bertindak seolah kau sudah berpikir
selain hal itu.
Aku mengusap wajahku
lelah. Kemudian tersenyum. Aku kembali! Teriakku pada diriku sendiri. Bukankah
aku bodoh dua minggu hanya membiarkan diriku sendiri terlarut dalam kesedihan?
Ya bodoh. Biarkan saja semuanya pergi, jangan membencinya, jangan mencoba
melupakannya secara instan. Anggap saja Dia adalah kisah yang telah berakhir.
Dengan begitu secara perlahan aku pasti melupakannya. Amin.
Tertanda,
Author
#180514
0 komentar:
Posting Komentar